AKU
WANITA
Setiap
pagi aku harus maroton untuk menyelesaikan tugas seorang ibu. Menyiapkan keperluan
keluarga sendirian. Ibu dari tiga putri
yang aku cintai. Hanya mereka lah yang kuharapkan dalam hidupku. Aku seorang
guru di salah satu sekoah Taman Kanak-kanak di Yogjakarta. Aku yang hidup sendiri tanpa suami dapat
mengasuh ketiga putriku yang cantik-cantik dari kecil hingga kini. Menghidupi
mereka dengan penuh iklas dan sayang. Seorang
ayah pergi meninggalkan rumah dan tak kembali lagi. Kadang aku merasa sedih di
kala si bungsu di goda oleh kakaknya lalu memanggilnya. “Bapak, kamu kemana kok
tidak pulang-pulang, kakak nakal!” Begitu
suara terdengar si bungsu saat tertekan. Sakit sekali rasanya walaupun aku
sudah iklas kepergiannya kadang ada rasa ingin bahagia seperti seperti orang
lain. Dalam mengurus anak ada temannya, dalam bepergian ada yang mengawal,
dalam persoalan ada teman yang membatu memecahkan masalah, meringankan beban
mental yang kadang tersisih. Aku menghargai dia karena aku masih membutuhkan
untuk melindungi keluarga.
Kehidupan
yang ku alami saat ini sangat terasa sekali. dulu tidak membayangkan kalau akan
terjadi seperti ini. Penyesalan memang terlambat datangnya. Pada saat aku masih
bersamanya memang tak terasa olehku sikap yang ter pendam sejak lama. Aku menggapnya itu biasa dan lumrah sebagai
pasangan suami istri. Yang kadang ada
rejeki apa tidak. Hal itu terjadi begitu lama namun aku tak menghiraukan asal
dia pulang ke rumah. Memang sudah bertahun-tahun aku menjalani seperti itu. Dari membiayai kelahiran anak sampai tiga
anak belum pernah keluar sepeserpun. Sudah aku siapkan sejak mau berangkat ke
Rumah Sakit. sisihkan sehingga dia tidak tahu kalau aku sudah menyiapkan biaya
persalinan. Sampai pulang sewa taxsi,
dia Cuma panggilkan saja yang membayari aku. Aku tidak menghiraukan hal kecil seperti
itu. Waktu itu aku hidup biasa saja
seperti layaknya suami istri seperti tanpa masalah.
Hari-hari
kulalui kehidupan bersamanya. Anak sudah mulai sekolah perlu biaya dan
perlengkapannya. Kenapa dia juga masih tidak mau tahu seberapa uang yang
dikeluarkan untuk beaya anak-anaknya sekolah. kalau di tanya berapa beaya
anaknya sekolah dia selalu bilang kalau mahal. Namun tidak mengerti seberapa
jumlahnya. Dia kerja untuk dirinya sendiri untuk beli bensin dan makan jajan
kalau kerja. Kerja serabutan yang dijalani selama ini belum pernah tersimpan
dalam wujud nyata. Beli motorlah, apa perabotlah, rumah saja tidak dipikirkan
dari hasil kerjanya. Ternyata sudah ada
tempat untuk menyimpan hartanya. Aku tidak tahu sama sekali. Aku dibohongi selama ini bertahun- tahun baru
aku sadar, dengan meninggalkan rumah memilih pergi dan hidup dengan teman SMA.
Sayang
ayo kita berangkat sekolah buruan. Kataku kepada si kecil yang usia 5 tahun
yang suka lelet. Tutut yang merindukan
seorang ayah membuat angan nya panjang di saat mandi. Betapa sangat merananya anak seusia itu harus
menanggung rasa rindu yang dalam. Kadang aku tak kuasa menantang ombak
kehidupan yang bergejolak mengikuti jaman. Aku harus kuat, mampu kuhadapi Semua
harapan hidup anakku. Biarlah kerikil menghalangi langkahku, ombak menerjang
tempat tinggal. Kuajarkan kasih sayang, suka memaafkan, mau berbagi, bersedekah
karena hidup ini masih ada kelanjutannya nanti di Akhirat.
Dari
SD anak kuajarkan untuk hidup prihatin, uang saku tidak pernah, bawa bekal
makan minum sendiri ke sekolah, minta uang saja kalau ada iuran dari sekolah
sama SPP. Uang untuk nabung saja tidak ada, lebih baik untuk beli makan bersama
keluarga. Sedangkan keperluan makan, hidup bermasyarakat, beaya sekolah dan
lain-lain tidak ada masalah bagiku. Sampai saat ini anakku yang besar tertanam
kalau membeli barang itu yang dibutuhkan saja. Alhamdullah tidak boros
seusianya. Sampai akhirnya sulungku wisuda Sarjana Akutansi di Perguruan Tinggi
termasuk kategori Cumloud rangking ke dua. Kini perjuangan untuk sekolah anak
kedua dan ketiga SMA dan SD Insya Allah bisa. Aku wanita juga mampu menghidupi.
Smoga Allah Ta Alla meridhoi langkahku. Aamiin.